Senin, 08 Februari 2010

1. AMALAN LAHIR DAN AMALAN HATI

KAJIAN KITAB AL – HIKAM
Karya : Syekh Ibnu Athaillah

1. AMALAN LAHIR DAN AMALAN HATI

Sebagian dari tanda bersandar kepada amalan lahir adalah berkurangnya harapan (suasana hati) tatkala berlaku padanya suatu kesalahan.

Imam Ibnu Athaillah memulai Kalimat Hikmah beliau dengan mengajak kita merenung kepada hakikat amal. Amal bisa dibagi menjadi dua jenis yaitu amalan lahir dan amalan hati atau suasana batin yang terkait dengan amalan lahir itu. Beberapa orang bisa jadi melakukan amalan lahir yang serupa tetapi suasana batin yang terkait dengan perbuatan lahir itu tidak serupa. Pengaruh amalan lahir kepada hati berbeda antara seorang dengan seorang yang lain. Jika amalan lahir itu mempengaruhi suasana hati, maka hati itu dikatakan bersandar kepada amalan lahir. Jika hati dipengaruhi juga oleh amalan hati, maka hati itu dikatakan bersandar juga kepada amal, sekalipun ia termasuk amalan batin.

Hati yang bebas dari bersandar kepada amal, baik amalan lahir ataupun amalan batin adalah hati yang menghadap kepada Allah dan meletakkan pergantungan kepada-Nya serta menyerah sepenuhnya kepada Allah tanpa sembarang takwil atau tuntutan. Hati yang demikian tidak menjadikan amalnya, lahir dan batin, walau berapa banyak sekalipun, sebagai alat untuk tawar menawar dengan Allah untuk mendapatkan sesuatu. Amalan bukan menjadi penyebab perantaraan antara dirinya dengan Tuhannya. Orang yang seperti ini tidak membataskan kekuasaan dan kemurahan Allah untuk tunduk kepada perbuatan manusia.

Allah Maha Berdiri Sendiri berbuat sesuatu menurut kehendak-Nya tanpa dipengaruhi oleh siapapun dan sesuatu apapun. Apa saja tentang Allah adalah mutlak, tiada kekurangan, cacat dan pembatasan. Oleh karena itu, orang arif tidak menjadikan amalan sebagai sarana yang merongrong ketTuhanan Allah atau ‘memaksa’ Allah berbuat sesuatu menurut perbuatan makhluk.

Perbuatan Allah berada di depan dan perbuatan makhluk ada di belakang. Tidak pernah terjadi Allah mengikuti perkataan dan perbuatan seseorang atau sesuatu apapun.

Sebelum menjadi seorang yang arif, hati manusia memang terkait rapat dengan amalan dirinya, baik yang lahir maupun yang batin. Manusia yang kuat bersandar kepada amalan lahir adalah mereka yang mencari manfaat keduniaan dan mereka yang kuat bersandar kepada amalan batin adalah yang mencari manfaat akhirat. Kedua jenis manusia tersebut percaya bahwa amalannya menentukan apa yang akan mereka peroleh baik di dunia dan juga di akhirat. Kepercayaan yang demikian kadang membuat manusia hilang atau kurang rasa bergantung nya kepada Allah.

Pergantungan mereka hanyalah kepada amalan semata, atau jikapun mereka bergantung kepada Allah, maka pergantungan itu bercampur dengan keraguan. Seorang manusia boleh memeriksa dirinya sendiri apakah kuat atau lemah pergantungannya kepada Allah. Kalimat Hikmah pertama yang dikeluarkan oleh Imam Ibnu Athaillah memberi petunjuk mengenainya.

Lihatlah kepada hati apabila kita terperosok ke dalam perbuatan maksiat atau dosa. Jika kesalahan yang demikian membuat kita berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah, itu tandanya pergantungan kita kepada-Nya sangat lemah. Firman-Nya:
“...Wahai anak-anakku, Pergilah dan carilah berita mengenai Yusuf dan saudaranya (Bunyamin), dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat serta pertolongan Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah melainkan kaum yang kafir ”. ( Ayat 87 : Surah Yusuf )

Ayat di atas menceritakan bahwa orang yang beriman kepada Allah meletakkan pergantungan kepada-Nya walau dalam keadaan bagaimanapun. Pergantungan kepada Allah membuat hati tidak berputus asa dalam menghadapi cobaan hidup.

Kadang apa kita yang inginkan, kita rencanakan dan kita usahakan tidak mendatangkan hasil yang seperti diharapkan. Kegagalan mendapatkan sesuatu yang diinginkan bukan bermakna tidak menerima pemberian Allah. Selama orang itu beriman dan bergantung kepada Allah maka pasti Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya.

Kegagalan memperoleh apa yang diinginkan bukan bermakna tidak mendapat rahmat Allah. Segala hal yang Allah lakukan kepada orang yang beriman pasti didalamnya terdapat hikmah yang besar rahmat-Nya yang luas. Keyakinan terhadap yang demikian menjadikan orang yang beriman tabah menghadapi ujian hidup, tidak sekali-kali mereka berputus asa. Mereka yakin bahwa apabila mereka sandarkan segala perkara kepada Allah, maka apapun amal kebaikan yang mereka lakukan tidak akan menjadi sia-sia.

Orang yang tidak beriman kepada Allah berada dalam situasi yang berbeda. Pergantungan mereka hanya tertuju kepada amalan mereka, yang terkandung di dalamnya ilmu dan usaha. Apabila mereka mengadakan sesuatu usaha berdasarkan kemampuan dan pengetahuan yang mereka miliki, mereka mengharapkan akan mendapatkan hasil yang setimpal. Jika ilmu dan usaha (termasuklah pertolongan orang lain) gagal mendatangkan hasil, mereka tidak mempunyai tempat bersandar lagi. Jadilah mereka orang yang berputus asa. Mereka tidak mampu melihat hikmah kebijaksanaan Allah yang telah mengatur perjalanan takdir dan mereka juga tidak mampu merasakan rahmat dan karunia-Nya.

Jika orang kafir tidak bersandar kepada Allah dan mudah berputus asa, di kalangan sebagian orang Islam pun ada yang berperilaku demikian, bergantung setingkat demikian menyerupai sifat orang kafir. Orang yang seperti ini melakukan amalan karena kepentingan diri sendiri, bukan karena Allah. Orang ini mungkin mengharapkan dengan amalannya itu dia dapat mengecap kemakmuran hidup di dunia. Dia mengharapkan semoga amal kebajikan yang dilakukannya dapat mengeluarkan hasil dalam bentuk bertambah rezekinya, kedudukannya atau pangkatnya, orang lain semakin menghormatinya dan dia juga dihindarkan daripada bala penyakit, kemiskinan dan sebagainya. Bertambah banyak amal kebaikan yang dilakukannya bertambah besarlah harapan dan keyakinannya tentang kesejahteraan hidupnya.
Sebagian kaum muslimin yang lain mengaitkan amal kebaikan dengan kemuliaan hidup di akhirat. Mereka memandang amal salih sebagai tiket untuk memasuki surga, sekaligus dapat dijauhkan dari azab api neraka.

Rohani orang yang bersandar kepada amal sangat lemah, terutama mereka yang mencari keuntungan dunia dengan amal mereka. Mereka tidak akan tahan menempuh ujian. Mereka mengharapkan perjalanan hidupnya sentiasa mudah dan segala-segalanya berjalan menurut apa yang mereka rencanakan. Apabila terjadi sesuatu di luar perkiraan, mereka menjadi panik dan gelisah. Bala bencana membuat mereka merasakan bahwa merekalah manusia yang paling malang di atas muka bumi ini. Namun sebaliknya, bila mereka sukses memperoleh sesuatu kebaikan, mereka merasakan kesuksesan itu disebabkan kepandaian dan kemampuan mereka sendiri. Mereka mudah menjadi egois serta suka menyombongkan diri.

Apabila rohani seseorang bertambah teguh, dia melihat amal itu sebagai jalan untuknya mendekatkan diri kepada Allah, hatinya tidak akan lagi cenderung kepada manfaat duniawi dan ukhrawi tetapi dia berharap untuk mendapatkan karunia Allah seperti terbukanya hijab-hijab yang menutupi hatinya. Orang-orang ini merasakan amal-amalnya membawa mereka kepada Allah. Bila dia tertinggal melakukan sesuatu amal yang biasa dilakukannya atau bila dia tergelincir melakukan kesalahan maka dia merasa dijauhi oleh Allah. Inilah orang yang pada peringkat permulaan mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan tarekat tasawuf.

Jadi, ada golongan yang bersandar kepada amal semata-mata dan ada pula golongan yang bersandar kepada Allah melalui amal. Kedua golongan tersebut berpegang kepada pengaruh amal dalam mendapatkan sesuatu. Golongan pertama kuat berpegang kepada amal lahir, yaitu perbuatan lahir yang dinamakan usaha atau ikhtiar. Jika mereka salah memilih ikhtiar, hilanglah harapan mereka untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Ahli tarekat yang masih berada pada tingkat permulaan juga bersandar kuat kepada amalan batin seperti shalat dan zikir. Jika mereka tertinggal melakukan sesuatu amalan yang biasa mereka lakukan, akan berkuranglah harapan mereka untuk mendapatkan anugerah dari Allah. Sekiranya mereka tergelincir melakukan dosa, maka putuslah harapan mereka untuk mendapatkan anugerah Allah.

Dalam perkara bersandar kepada amal ini, termasuk juga bersandar kepada ilmu, baik ilmu lahir atau ilmu batin. Ilmu lahir adalah ilmu penguasaan dan pengurusan sesuatu perkara menurut kekuatan akal. Ilmu batin adalah ilmu yang menggunakan kekuatan batin dalam memperoleh sesuatu yang diinginkan.
Kebanyakan orang meletakkan kesuksesan kepada ayat dan usaha, hingga mereka lupa kepada Allah yang meletakkan takdir atas segala sesuatu.
Seterusnya, sekiranya Allah izinkan, rohani seseorang meningkat kepada kedudukan yang lebih tinggi. Nyata di dalam hatinya maksud kalimat:

Tiada daya dan upaya kecuali bersama Allah.

“Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang kamu perbuat itu” ( Ayat 96 : Surah as- Saaffaat )
Orang-orang yang maqom atau kedudukan rohaninya berada pada tingkat ini tidak lagi melihat kepada amalnya, walaupun banyak amal yang dilakukannya tetapi hatinya tetap melihat bahwa semua amalan tersebut hakekatnya adalah karunia Allah semata. Jika tidak karena taufik dan hidayah dari Allah tentu tidak ada amal kebaikan yang dapat dilakukannya.

Allah berfirman:
“Ini adalah keutamaan dari Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku akan bersyukur atau aku akan ingkar. Dan sungguh barang siapa yang bersyukur maka syukurnya itu hanyalah berpulang kepada dirinya sendiri, dan barang siapa yang ingkar (maka tidaklah menjadi masalah bagi Allah), karena sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya, lagi Maha Pemurah”. ( Ayat 40 : Surah an-Naml )

Dan tiadalah kamu berkeinginan (melakukan sesuatu perkara) melainkan dengan cara yang dikehendaki Allah; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Ia memasukkan siapa saja yang dikehendaki-Nya (menurut aturan yang ditetapkan) ke dalam rahmat-Nya (dengan menempatkannya di surga); dan bagi orang-orang yang zalim, Ia telah menyediakan untuk mereka azab yang pedih. ( Ayat 30 & 31 : Surah al-Insaan )

Segala-galanya adalah pemberian Allah dan menjadi milik-Nya. Orang ini melihat kepada takdir yang Allah tentukan, tidak terlihat olehnya pengaruh perbuatan makhluk termasuk perbuatan dirinya sendiri. Maqam atau kedudukan ini dinamakan maqom ariffin yaitu orang-orang yang mengenal Allah. Golongan ini tidak lagi bersandar kepada amal tetapi justru merekalah yang paling kuat mengerjakan amal ibadah.

Orang yang masuk ke dalam lautan takdir, ridha dengan segala yang ditentukan Allah, akan sentiasa tenang, tidak berdukacita apabila terjadi kehilangan atau ketiadaan sesuatu. Mereka tidak melihat makhluk sebagai penyebab atau pemberi pengaruh.
Di awal perjalanan menuju Allah, seseorang akan kuat beramal menurut tuntutan syariat. Dia melihat amalan itu sebagai kendaraan yang membawanya menghampiri Allah. Semakin kuat dia beramal semakin besarlah harapannya untuk sukses dalam perjalanannya. Apabila dia mencapai satu tahap, pandangan mata hatinya terhadap amal mulai berubah. Dia tidak lagi melihat amalan sebagai alat atau penyebab. Pandangannya beralih kepada karunia Allah. Dia melihat semua amalannya adalah karunia Allah semata kepadanya dan kedekatannya dengan Allah juga karunia-Nya. Seterusnya terbukalah hijab yang menutupi dirinya dan dia mengenali dirinya dan mengenali Tuhannya. Dia melihat dirinya sangat lemah, hina, jahil, serba kekurangan dan faqir. Allah adalah Maha Kaya, Berkuasa, Mulia, Bijaksana dan Sempurna dalam segala segi.

Bila dia sudah mengenali dirinya dan Tuhannya, pandangan mata hatinya tertuju kepada Qudrat dan Iradat Allah yang melingkupi segala sesuatu yang ada dalam alam raya ini. Jadilah dia seorang arif yang sentiasa memandang kepada Allah, berserah diri kepada-Nya, bergantung dan berhajat kepada-Nya. Dia hanyalah hamba Allah yang sangat faqir (lemah dan butuh).

Bersambung.....

Sumber :
http://pencaricintaillahi.blogspot.com/2009/01/kajian-kitab-al-hikam-karya-syekh-ibnu.html
Teks asli bisa diakses di sini : http://alhikam0.tripod.com/