Senin, 08 Februari 2010

3. KEKUATAN DIRI TIDAK AKAN SANGGUP MEMECAHKAN BENTENG TAKDIR

KAJIAN KITAB AL – HIKAM
Karya : Syekh Ibnu Athaillah

3. KEKUATAN DIRI TIDAK AKAN SANGGUP MEMECAHKAN BENTENG TAKDIR

Kalimat Hikmah yang pertama menyentuh tentang hakikat amal yang membawa kepada pengertian tentang amal lahir dan amal batin. Ia mengajak kita memerhatikan amal batin (suasana hati) yang berhubungan dengan amal lahir yang kita lakukan.

Sebagai manusia biasa, hati kita cenderung untuk menaruh harapan dan meletakkan pergantungan kepada hasil dari amalan lahir. Kalimat Hikmah kedua menjelaskan mengenai hal itu dengan membuka pandangan kita kepada suasana asbab dan tajrid.

Bersandar kepada amal terjadi karena seseorang melihat kepada pengaruh sebab dalam melahirkan akibat. Apabila seseorang telah terlepas dari pengaruh sebab musabab barulah seseorang itu masuk kepada suasana tajrid.

Dua Kalimat Hikmah yang lalu telah memberi pendidikan yang halus kepada jiwa. Seseorang akan mendapat pemahaman bahwa bersandar kepada amal bukanlah jalannya. Pemahaman yang demikian akan melahirkan kecenderungan untuk menyerah bulat-bulat kepada Allah. Akan tetapi, sikap menyerah tanpa persiapan kerohanian yang baik bisa jadi malah menggoncangkan keimanannya. Agar orang yang sedang meninggi semangatnya tidak keliru memilih jalan, dia diberi pengertian mengenai kedudukan asbab dan tajrid. Pemahaman tentang maqom (kedudukan) asbab dan tajrid membuat seseorang mendidik jiwanya agar menyerah kepada Allah dengan cara yang betul dan selamat dan bukan berserah diri dengan cara yang salah.

Hikmat ke tiga ini mengajak kita merenung kepada kekuatan benteng takdir yang memagari segala sesuatu. Ketika kita berbicara tentang ahli tajrid, kita dapati ahli tajrid melihat kepada kekuasaan Allah yang meletakkan pengaruhnya terhadap suatu sebab dan menetapkannya dalam melahirkan akibat. Ini bermakna bahwa semua kejadian dan segala hukum mengenai sesuatu perkara berada di dalam penguasaan dan aturan Allah. Dialah yang menguasai, mengatur dan mengurus setiap makhluk-Nya. Urusan keTuhanan yang menguasai, mengatur dan mengurus atau suasana pentadbiran Allah itu dinamakan takdir. Tidak ada sesuatupun yang tidak dikuasai, diatur dan diurus oleh Allah. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu apapun yang tidak termasuk ke dalam takdir.

Manusia terhalang memandang takdir karena keyakinan yang keliru tentang hukum sebab-akibat. Keegoan seseorang menjadikan hukum sebab-akibat menghalangi pandangan hati melihat takdir. Keinginan, cita-cita, angan-angan, semangat, akal pikiran, dan juga usaha, menutupi hati daripada melihat kekuasaan, pengaturan dan pengurusan Allah.
Hijab (penghalang) keegoan itu jika disimpulkan terdiri dari dua hal, yaitu hijab nafsu dan hijab akal. Nafsu yang melahirkan keinginan, cita-cita, angan-angan dan semangat. Akal menjadi tentara nafsu, menimbang, merancang dan mengadakan usaha dalam mensukseskan apa yang dicetuskan oleh nafsu.

Jika nafsu inginkan sesuatu yang baik, akal bergerak kepada kebaikan itu. Jika nafsu inginkan sesuatu yang buruk, akal juga bergerak kepada keburukan itu. Dalam banyak perkara, akal justru tunduk kepada pengarahan nafsu, bukan menasehati nafsu. Oleh sebab itu, dalam usaha menundukkan hawa nafsu kita tidak boleh meminta pertolongan akal.

Dalam proses memperoleh penyerahan secara menyeluruh kepada Allah terlebih dahulu akal dan nafsu perlu ditundukkan kepada kekuatan takdir. Akal mesti mengakui kelemahannya dalam membuka ikatan takdir. Nafsu mesti menerima hakikat kelemahan akal dalam perkara tersebut dan ikut tunduk bersama-samanya. Bila nafsu dan akal sudah tunduk barulah hati boleh beriman dengan sebenarnya kepada takdir.

Beriman kepada takdir seharusnya melahirkan penyerahan secara berpengetahuan bukan bersandar pada kebodohan. Orang yang jahil tentang hukum dan perjalanan takdir tidak dapat berserah diri dengan sebenarnya kepada Allah sebab di balik kejahilannya itulah nafsu akan menggunakan akal untuk menimbulkan keraguan terhadap Allah. Rohani orang yang jahil tentang hakikat takdir itu masih terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan biasa. Dia masih melihat bahwa makhluk bisa mendatangkan pengaruh pada kehidupannya. Tindakan orang lain dan kejadian-kejadian yang dilaluinya sering membuat jiwanya kacau. Keadaan yang demikian menyebabkan dia tidak dapat bertahan untuk terus berserah diri kepada Allah. Sekiranya dia memahami tentang hukum dan peraturan Allah dalam perkara takdir tentu dia dapat bertahan dengan iman. Hadis menceritakan tentang takdir:

Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah s.a.w, “Wahai Rasulullah, apakah iman?” Jawab Rasulullah s.a.w, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Kemudian. Juga engkau beriman dengan Qadar baiknya, buruknya, manisnya dan pahitnya adalah dari Allah”. { Maksud Hadis }
Pandangan kita sering keliru memandang takdir yang berlaku. Kita dikelirukan oleh istilah-istilah yang biasa kita dengar. Kita cenderung merasakan seolah-olah Allah hanya menentukan yang dasarnya saja, sementara yang halus-halus ditentukan-Nya kemudian, yakni seolah-olah Dia Melihat dan Mengkaji perkara yang timbul barulah Dia membuat keputusan.

Kita sering merasakan apabila kita berjuang dengan semangat yang gigih untuk mengubah perkara dasar yang telah Allah tetapkan dan Dia –tentu saja – Maha Melihat kegigihan kita itu, kemudian bersimpati dengan kita lalu Dia pun membuat ketentuan baru supaya terlaksana takdir baru yang sesuai dengan perjuangan kita. Kita seolah merasakan kehendak dan usaha kita berada di hadapan, sementara Kehendak dan aturan Allah mengikut di belakang. Anggapan dan perasaan yang demikian bisa membawa kepada kesesatan dan kedurhakaan yang besar karena kita meletakkan diri kita pada taraf Tuhan dan Tuhan kita letakkan pada taraf hamba yang menuruti telunjuk kita.

Cara menjauhkan diri dari kesesatan dan kedurhakaan yang besar itu kita perlu sangat memahami soal sunnatullah atau ketentuan Allah. Segala kejadian berlaku menurut ketentuan, pengurusan dan pengaturan Allah. Tidak ada yang berlaku secara kebetulan. Ilmu Allah meliputi yang awal dan yang akhir, yang azali dan yang abadi. Apa yang terwujud dan apa yang terjadi telah ada pada Ilmu-Nya.

Tidak ada sesuatu kesusahan (atau bala bencana) yang ditimpakan di bumi, dan tidak juga yang menimpa diri kamu, melainkan telah tertulis di dalam Kitab (Lauhil Mahfudz) sebelum Kami menjadikannya; sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Ayat 22 : Surah al-Hadiid)
Maha Berkah Tuhan Dzat yang menguasai kerajaan (dunia dan akhirat); dan Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu; - ( Ayat 1 : Surah al-Mulk )
Dan Dialah yang telah mengatur (keadaan makhluk-makhluk-Nya) serta memberikan hidayah petunjuk (ke jalan keselamatannya dan kesempurnaannya); ( Ayat 3 : Surah al-A’laa)

Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air (di sana sini), lalu bertemulah air (langit dan bumi) itu untuk (melakukan) satu perkara yang telah ditetapkan. ( Ayat 12 : Surah al-Qamar )

Segala perkara, apapun istilah yang digunakan, adalah termasuk dalam ketentuan Allah. Apa yang kita istilahkan sebagai perjuangan, ikhtiar, doa, kekeramatan, mukjizat dan lain-lain semuanya adalah ketentuan Allah. Pagar takdir mengelilingi segala-galanya dan tidak ada sebesar atom pun yang mampu menembus benteng takdir yang maha teguh. Tidak terjadi perjuangan dan ikhtiar melainkan perjuangan dan ikhtiar tersebut telah ada dalam pagar takdir. Tidak berdo’a orang yang berdo’a melainkan berdo’a itu adalah takdir untuknya yang sesuai dengan ketentuan Allah untuknya. Perkara yang dido’akan juga tidak lari dari pada ketentuan Allah. Tidak berlaku kekeramatan dan mukjizat melainkan kekeramatan dan mukjizat itu adalah takdir yang tidak menyimpang daripada pengurusan dan pengaturan Allah. Tidak menghirup satu nafas atau berdenyut satu nadi melainkan yang demikian adalah takdir yang mewujudkan urusan Allah.

Kami datang dari Allah dan kepada Allah kami kembali.
Segala perkara datangnya dari Allah atau Dia yang mengadakan ketentuan tanpa campur tangan siapapun. Segala perkara kembali kepada-Nya karena Dialah yang memastikan hukum dan ketentuan-Nya terlaksana tanpa siapa pun mampu menghalangi urusan-Nya.
Apabila sudah dipahami bahwa usaha, ikhtiar, menyerah diri dan segala-galanya adalah takdir yang menurut pada ketentuan Allah, maka seseorang tidak lagi merasa bingung pada istilah berikhtiar atau menyerah diri. Ikhtiar dan berserah diri sama-sama berada di dalam pagar takdir.

Jika seseorang menyadari maqomnya apakah asbab atau tajrid maka dia hanya perlu bertindak sesuai dengan maqomnya. Ahli asbab perlu berusaha dengan gigih menurut keadaan hukum sebab-akibat. Apa pun hasil yang muncul dari usahanya diterimanya dengan senang hati karena dia tahu hasil itu juga adalah takdir yang telah diatur oleh Allah. Jika hasilnya baik dia akan bersyukur karena dia tahu bahwa kebaikan itu datangnya dari Allah. Jika tidak ada ketentuan baik untuknya, niscaya tidak mungkin ia mendapat kebaikan. Jika setelah bekerja keras, hasilnya tidak sesuai dengan harapan, dia akan bersabar karena dia tahu apa yang datang kepadanya itu adalah menurut ketentuan Allah bukan tunduk kepada usaha dan ikhtiarnya. Walaupun hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan harapan, ia tetap yakin usaha baik yang dilakukannya tetap diberi pahala dan keberkahan oleh Allah sekiranya dia bersabar dan rela dengan apapun takdir yang sampai kepadanya itu.

Ahli tajrid pun hendaknya ridha dengan suasana kehidupannya dan tetap yakin dengan jaminan Allah. Dia tidak harus merengut jika terjadi kekurangan pada rezekinya, atau kesusahan menimpanya. Suasana kehidupannya adalah takdir yang sesuai dengan apa yang Allah tentukan. Rezeki yang sampai kepadanya adalah juga ketentuan Allah. Jika terjadi kekurangan atau kesusahan maka ia juga masih di dalam pagar takdir yang ditentukan oleh Allah. Begitu juga jika terjadi keberkahan dan kekeramatan pada dirinya, dia harus melihat itu sebagai takdir yang menjadi bagiannya.

Persoalan takdir berkait rapat dengan persoalan hakikat. Hakikat membawa pandangan dari yang banyak kepada yang satu. Perhatikan sebiji benih kacang. Setelah ditanam, benih yang kecil itu akan tumbuh dengan sempurna, mengeluarkan beberapa banyak buah kacang. Buah kacang tersebut dijadikan pula benih untuk menumbuhkan pokok-pokok kacang yang lain. Begitulah seterusnya sehingga kacang yang semula dari satu biji benih menjadi berjuta-juta kacang. Kacang yang berjuta-juta itu tidak ada bedanya dengan kacang yang pertama. Benih kacang yang pertama itu bukan saja berkemampuan untuk menjadi sebatang pokok kacang, malah ia mampu mengeluarkan semua generasi kacang sehingga hari kiamat. Ia hanya boleh mengeluarkan kacang, tidak benda lain.

Kajian akal boleh mengakui bahawa semua kacang mempunyai zat yang sama, yaitu gen kacang. Gen kacang pada benih pertama serupa dengan gen kacang pada yang ke satu juta malah ia adalah gen yang sama atau yang satu. Gen kacang yang satu itulah ‘bergerak’ pada semua kacang, memastikan yang kacang akan menjadi kacang, tidak menjadi benda lain.

Gen terdiri dari kumpulan informasi. Informasi bukan bersifat materi, untuk kasus kacang boleh kita namakan “Hakikat Kacang”. Ia adalah suasana keTuhanan yang mengatur, mengurus serta mengawal seluruh pertumbuhan kacang dari permulaan hingga kesudahan, sampai hari kiamat. Hakikat Kacang inilah suasana pengaturan dan pengurusan Allah dan Dialah yang telah tentukan untuk semua kejadian kacang. Apa saja yang dikuasai oleh Hakikat Kacang tidak ada pilihan kecuali menjadi kacang.
Suasana pengaturan dan pengurusan Allah yang mengatur dan mengurus serta mengawal wujud keturunan manusia kita namakan pula sebagai “Hakikat Manusia” atau “Hakikat Insan”. Allah telah menciptakan manusia yang pertama, yaitu Adam a.s menurut Hakikat Insan yang ada pada sisi-Nya. Pada kejadian Adam a.s itu telah disimpankan bakat dan kemampuan untuk melahirkan semua keturunan manusia hingga hari kiamat. Manusia akan tetap melahirkan manusia karena hakikat yang menguasainya adalah Hakikat Manusia.

Pada Hakikat Manusia itu ada hakikat tersendiri yang menguasai satu individu manusia dan saling ketergantungannya dengan segala kejadian alam yang lain. Seorang manusia yang berhakikatkan “Hakikat Nabi” pasti menjadi nabi. Seorang manusia yang berhakikatkan “Hakikat Wali” pasti akan menjadi wali. Suasana pengaturan dan pengurusan Allah atau hakikat itu menguasai ruh yang berkaitan dengannya. Ruh bekerja mewujudkan segala perintah yang ada dengan hakikat yang menguasainya. Kerja ruh adalah menjalankan urusan Allah yaitu menyatakan hakikat yang ada pada sisi Allah.

Dan katakan: “ Ruh itu dari perkara urusan Tuhanku”. ( Ayat 85 : Surah Al-Israa’ )
Pengaturan dan pengurusan Allah menguasai ruh dan sekaligus mengarahkan ruh untuk mewujudkan ketentuan-Nya yang telah tertulis semenjak jaman azali. Allah telah menentukan hakikat sesuatu sejak jaman azali. Tidak ada perubahan pada ketentuan Allah. Segala sesuatu dikawal oleh hakikat yang pada sisi Allah. Unta tidak boleh meminta menjadi kambing. Kera tidak boleh meminta menjadi manusia. Manusia tidak boleh meminta menjadi malaikat. Segala ketentuan telah diputuskan oleh Allah.

Bersambung.....

Sumber :
http://pencaricintaillahi.blogspot.com/2009/01/kajian-kitab-al-hikam-karya-syekh-ibnu.html
Teks asli bisa diakses di sini : http://alhikam0.tripod.com/