Senin, 08 Februari 2010

9. AHWAL MENENTUKAN AMAL

KAJIAN KITAB AL – HIKAM
Karya : Syekh Ibnu Athaillah

9. AHWAL MENENTUKAN AMAL

Berbagai jenis amal adalah karena berbagai ahwal (hal-hal)

Kalimat Hikmah ke 9 di atas ringkas tetapi padat. Hikmah ini merupakan lanjutan dari Kalimat Hikmah ke 8 yang telah diuraikan sebelumnya. Hikmah yang ke delapan menjelaskan sampai perhentian di hadapan pintu gerbang dan belum menyentuh ma’rifat. Hikmah ke sembilan ini memberi gambaran tentang ma’rifat tetapi tidak dibahas tuntas apa itu ma’rifat dan tidak juga diuraikan secara terus terang, sebaliknya yang dibahas adalah mengenai ahwal. Ahwal adalah bentuk jamak bagi hal. Hikmah ini memberi arti bahwa hal membentuk keadaan amal. Amal adalah perbuatan atau kelakuan lahiriah dan hal adalah suasana atau kelakuan hati. Amal berkaitan dengan lahiriah sedangkan hal berkaitan dengan batiniah. Oleh karena hati menguasai seluruh anggota badan maka kelakuan hati yaitu hal akan menentukan bentuk amal atau perbuatan lahiriah.

Dalam pandangan tasawuf, hal diartikan sebagai pengalaman rohani dalam proses mencapai hakikat dan ma’rifat. Hal merupakan zauk atau cita rasa yang berkaitan dengan keTuhanan yang melahirkan ma’rifatullah (pengenalan tentang Allah). Oleh sebab itu, tanpa hal tidak ada hakikat dan tidak diperoleh ma’rifat. Ahli ilmu membangun ma’rifat melalui dalil ilmiah tetapi ahli tasawuf berma’rifat melalui pengalaman, melalui zauk (cita rasa) tentang keberadaan Allah.

Sebelum memperoleh pengalaman hakikat, ahli kerohanian terlebih dahulu memperoleh kasyaf. Kasyaf adalah terbukanya rahasia keghaiban kepadanya. Kasyaf yang paling penting adalah mengenali tipu daya syaitan yang bersembunyi dalam berbagai bentuk dan suasana dunia ini. Kasyaf yang menerima hakikat sesuatu - walau apapun juga bentuk rupa yang ditemukan - penting bagi pengembara kerohanian. Rasulullah s.a.w sendiri sebagai ahli kasyaf yang paling unggul hanya melihat Jibril a.s dalam rupanya yang asli dua kali saja, walaupun setiap kali Jibril a.s menemui Rasulullah s.a.w dengan rupa yang berbeda-beda, Rasulullah s.a.w tetap mengenalinya sebagai Jibril a.s. Kasyaf yang seperti inilah yang diperlukan agar seseorang itu tidak tertipu dengan tipu daya syaitan yang menjelma dalam berbagai bentuk rupa yang hebat dan menawan sekalipun, seperti berbentuk seseorang yang kelihatan alim, wara’ dan shalih.

Bila seseorang ahli kerohanian memperoleh kasyaf maka dia telah bersedia untuk menerima kedatangan hal atau zauk atau cita rasa, yakni pengalaman kerohanian tentang keberadaan Allah yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hal atau zauk atau cita rasa tidak mungkin diperoleh dengan beramal dan menuntut ilmu. Sebelumnya pernah dinyatakan bahwa tidak ada jalan untuk masuk ke dalam gerbang ma’rifat. Seseorang hanya mampu beramal dan menuntut ilmu untuk sampai menghampiri pintu gerbangnya. Apabila sudah sampai di situ seseorang hanya tinggal menanti karunia Allah, semata-mata karunia Allah yang membawa ma’rifat kepada hamba-hamba-Nya. Karunia Allah yang mengandung ma’rifat itu dinamakan hal. Allah memancarkan Nur-Nya ke dalam hati hamba-Nya dan akibat dari pancaran itu hati akan mendapat sesuatu pengalaman atau terbentuk satu suasana di dalam hati. Misalnya, pancaran Nur Ilahi membuat hati mengalami hal bahwa Allah Maha Perkasa. Apa yang terbentuk di dalam hati itu tidak dapat digambarkan tetapi pengaruhnya atau dampaknya dapat dilihat dari tubuhnya yang menggigil hingga dia jatuh pingsan.

Pancaran Nur Ilahi membuat hati mengalami hal atau zauk atau cita rasa yang dapat merasakan keperkasaan Allah dan pengalaman inilah yang dinamakan hakikat, yakni hati mengalami hakikat keperkasaan Allah. Pengalaman hati tersebut membuatnya berpengetahuan tentang maksud Allah Maha Perkasa.

Jadi, pengalaman yang diperoleh dari zauk atau cita rasa tentang hakikat melahirkan pengetahuan tentang Allah. Pengetahuan itulah yang dinamakan ma’rifat. Orang yang mengalaminya dikatakan berma’rifat terhadap keperkasaan Allah. Oleh sebab itu, untuk mencapai ma’rifat dalam terminologi tasawuf, seseorang haruslah mengalami hakikat merasakan sendiri zauk atau cita rasa itu. Inilah jenis ma’rifat yang tertinggi. Ma’rifat tanpa pengalaman hati adalah ma’rifat secara ilmu. Ma’rifat secara ilmu bisa didapat dengan belajar, sementara secara zauk bisa didapat melalui latihan kerohanian. Ahli tasawuf tidak berhenti hanya sampai tingkat ma’rifat secara ilmu, mereka bahkan mempersiapkan hati mereka agar mampu menerima kedatangan ma’rifat secara zauk atau ma’rifat secara cita rasa.

Ada orang yang memperoleh hal sekali saja dan dikuasai oleh hal dalam tempo tertentu dan ada juga yang berkekalan di dalam hal itu. Hal yang berterusan atau berkekalan dinamakan wisal yaitu penyerapan hal secara berterusan, kekal atau baqa. Orang yang mencapai wisal akan terus hidup dengan cara hal yang mengenainya. Hal-hal (ahwal) dan wisal bisa dibagi dalam lima jenis:

1. Abid

Abid adalah orang yang dikuasai oleh hal atau zauk atau cita rasa yang membuat dia sangat-sangat merasakan bahwa dirinya hanyalah seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa dan tidak mempunyai daya dan upaya untuk melakukan sesuatu. Kekuatan, upaya, bakat-bakat dan apa saja yang ada pada dirinya hanyalah daya dan upaya dari Allah. Semuanya itu hanyalah karunia-Nya semata-mata. Allah sebagai Pemilik yang sebenarnya, apabila Dia memberi, maka Dia berhak pula mengambil kembali pada masa-masa yang Dia kehendaki. Seorang abid benar-benar bersandar kepada Allah sehingga sekiranya dia melepaskan sandaran itu, dia akan jatuh, tidak berdaya, tidak bisa bergerak, karena dia benar-benar melihat dirinya kehilangan apa-apa yang datang dari Allah. Hal atau suasana yang menguasai hati abid itu akan melahirkan amal atau kelakuan sangat kuat dalam beribadah, tidak memperdulikan dunia dan isinya, tidak ikut campur dalam urusan orang lain, sangat takut berjauhan dari Allah dan gemar menyendiri. Dia merasakan apa saja yang selain Allah akan menjauhkan dirinya dari Allah.

2. Asyikin

Asyikin ialah orang yang sangat terpesona dengan sifat Allah yang Maha Indah. Apa saja yang dilihatnya menjadi cermin yang dia mampu merasakan (zauk) Keindahan serta Keelokan Allah di dalamnya. Amal atau kelakuan asyikin ialah gemar merenung di alam senantiasa memuji Keindahan Allah pada apa yang disaksikannya. Dia bisa duduk menikmati keindahan alam berjam-jam tanpa merasa jemu. Kilauan ombak dan rintikan hujan memukau pandangan hatinya. Semua yang terlihat adalah warna Keindahan dan Keelokan Allah. Orang yang menjadi asyikin mempunyai alam tersendiri yang di dalamnya hanyalah Keindahan Allah.

3. Muttakhaliq

Muttakhaliq adalah orang yang mencapai yang Haq dan bertukar sifatnya. Hatinya dikuasai oleh suasana Qurbi Faraidh atau Qurbi Nawafil. Dalam Qurbi Faraidh, muttakhaliq merasakan dirinya adalah alat dan Allah menjadi Pengguna alat. Dia melihat perbuatan atau kelakuan dirinya terjadi tanpa dia merancang dan campur tangan, bahkan dia tidak mampu mengubah apa yang mau terjadi pada kelakuan dan perbuatannya. Dia merasakan menjadi orang yang berpisah dari dirinya sendiri. Dia melihat dirinya melakukan sesuatu perbuatan seperti dia melihat orang lain yang melakukannya, yang dia tidak berdaya mengawal atau mempengaruhinya. Hal Qurbi Faraidh adalah dia merasakan bahwa Allah melakukan apa yang Dia kehendaki.
Dalam suasana Qurbi Nawafil muttakhaliq melihat dengan mata hatinya sifat-sifat Allah yang menguasai bakat dan upaya pada seluruh anggotanya dan dia menjadi pelaku atau pengguna sifat-sifat tersebut, yaitu dia menjadi khalifah dirinya sendiri. Hal Qurbi Nawafil ialah berbuat dengan izin Allah karena Allah mengaruniakan kepadanya kemampuan untuk berbuat sesuatu. Contoh Qurbi Nawafil adalah tindakan Nabi Isa a.s yang membentuk rupa burung dari tanah liat lalu menyuruh burung itu terbang dengan izin Allah, juga mu’jizat beliau a.s menyeru orang mati supaya bangkit dari kuburnya. Nabi Isa a.s melihat sifat-sifat Allah yang diizinkan menjadi bakat dan daya upaya beliau a.s, sebab itu beliau a.s tidak ragu-ragu untuk menggunakan bakat tersebut menjadikan burung dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah tentunya.

4. Muwahhid

Muwahhid yaitu fana dalam zat, zatnya lenyap dan Zat Mutlak yang menguasainya. Hal bagi muwahhid ialah dirinya menjadi tidak dirasakan keberadaannya, yang ia rasakan adalah keberadaan Allah. Orang ini telah putus hubungannya dengan kesadaran basyariah dan segala bentuk yang ada. Kelakuan atau amalnya tidak lagi seperti manusia biasa. Dia telah fana dari ‘aku’ dirinya dan ia dikuasai oleh hakikat keberadaan Allah. Apabila dia tidak dikuasai oleh hal, kesadarannya kembali dan dia menjadi ahli syariat yang taat.

5. Mutahaqqiq

Mutahaqqiq ialah orang yang setelah fana dalam zat turun kembali kepada kesadaran sifat, seperti yang terjadi pada nabi-nabi dan wali-wali Allah demi melaksanakan amanat sebagai khalifah Allah di atas muka bumi dan kehidupan dunia yang wajib diurus. Dalam kesadaran zat seseorang tidak keluar dari khalwatnya dengan Allah, dan tidak peduli tentang urusan rumah tangga ataupun kehancuran dunia seluruhnya. Saat itu orang yang demikian tidak bisa dijadikan pemimpin. Dia mesti turun kepada kesadaran sifat barulah dia bisa memimpin orang lain.

Ahwal (hal-hal) yang menguasai hati nurani berbeda-beda, yang dengannya terbentuk perilaku amal yang berbeda-beda pula. Ahwal mesti difahami dengan sebenar-benarnya oleh orang yang memasuki latihan tarekat kerohanian, supaya dia mengetahui dalam amal yang bagaimana dia mendapat kedamaian dan mencapai maksud dan tujuan, apakah dengan shalat sunnah, zikir atau puasa. Dia mesti berpegang sungguh-sungguh kepada amal yang dicetuskan oleh hal tadi, agar dia mampu dan selamat sampai ke puncak.

Bersambung.....

Sumber :
http://pencaricintaillahi.blogspot.com/2009/01/kajian-kitab-al-hikam-karya-syekh-ibnu.html
Teks asli bisa diakses di sini : http://alhikam0.tripod.com/