Senin, 08 Februari 2010

10. IKHLAS ADALAH RUHNYA IBADAH

KAJIAN KITAB AL – HIKAM
Karya : Syekh Ibnu Athaillah

10. IKHLAS ADALAH RUHNYA IBADAH

Amalan lahir adalah kerangka sedangkan ruhnya adalah ikhlas yang tersembunyi dalam amalan itu

Amal lahiriah digambarkan sebagai kerangka tubuh dan ikhlas digambarkan sebagai nyawa yang menghidupkan tubuh itu. Sekiranya kita kurang mendapat dampak yang baik dari latihan kerohanian hendaklah kita merenung dengan mendalam apakah amal tubuh kita bernyawa atau tidak.

Kalimat Hikmah ke 10 ini menghubungkan amal dengan ikhlas. Kalimat Hikmah ke 9 yang lalu telah menghubungkan amal dengan hal. Kedua Kalimat Hikmah ini membangun jembatan yang menghubungkan hal dengan ikhlas, kedua-duanya ada kaitan dengan hati, atau lebih tepat jika dikatakan ikhlas sebagai suasana hati dan hal sebagai Nur Ilahi yang menyinari hati yang ikhlas. Ikhlas menjadi persediaan yang penting bagi hati menyambut kedatangan Nur Ilahi. Apabila Allah berkehendak memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya maka dipancarkan Nur-Nya kepada hati hamba tersebut. Nur yang dipancar kepada hati ini dinamakan Nur Sir atau Nur Rahsia Allah. Hati yang diterangi oleh nur akan merasai hal keTuhanan atau mendapat tanda-tanda tentang Allah. Setelah mendapat pertanda dari Allah maka hati pun mengenal Allah. Hati yang memiliki ciri atau sifat begini dikatakan hati yang mempunyai ikhlas tingkat tertinggi. Allah berfirman :

Dan sebenarnya perempuan itu berkeinginan sangat kepadanya, dan Yusuf ( timbu pula ) keinginannya kepada perempuan itu, kalaulah ia tidak menyadari keberadaan Tuhannya (tentang hinanya berbuat zina). Maka demikianlah (takdir Kami), untuk menjauhkan dari Yusuf perkara-perkara yang tidak baik dan perbuatan yang hina, karena sesungguhnya ia dari hamba-hamba Kami yang dibersihkan dari segala dosa. (Ayat 24 : Surah Yusuf )

Nabi Yusuf a.s adalah hamba Allah yang ikhlas. Hamba yang ikhlas berada dalam pemeliharaan Allah. Apabila dia dirangsang untuk melakukan kejahatan dan kekotoran, Nur Rahasia Allah akan memancar di dalam hatinya sehingga dia menyaksikan dengan jelas akan tanda-tanda Allah dan sekaligus meleburkan rangsangan jahat tadi. Inilah tingkat ikhlas yang tertinggi yang dimiliki oleh orang arif dan yang dekat dengan Allah. Mata hatinya sentiasa memandang kepada Allah, tidak pada dirinya dan perbuatannya. Orang yang berada di dalam maqom ikhlas yang tertinggi ini sentiasa dalam keridhaan Allah baik pada saat beramal ataupun pada saat diam. Allah sendiri yang memeliharanya. Allah mengajarkan agar hamba-Nya menghubungkan diri dengan-Nya dalam keadaan ikhlas.

Dia Yang Tetap Hidup; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka beribadahlah kepada-Nya dengan mengikhlaskan amalanmu kepada-Nya semata-mata. Segala puji bagi Allah, Tuhan yang memelihara dan mengurus semesta alam. ( Ayat 65 : Surah al-Mu’min )

Allah Yang Maha Hidup. Dia yang memiliki segala kehidupan. Dia jualah Tuhan sekalian alam. Apa saja yang ada dalam alam ini adalah ciptaan-Nya. Apa saja yang hidup adalah dihidupkan oleh-Nya. Jalan dari Allah adalah nikmat dan karunia, sementara jalan dari hamba kepada-Nya adalah ikhlas. Hamba dituntut supaya mengikhlaskan segala aspek kehidupan untuk-Nya. Dalam melaksanakan tuntutan mengikhlaskan kehidupan untuk Allah ini hamba tidak boleh berasa takut dan gentar kepada sesama makhluk.

Oleh itu maka sembahlah kamu akan Allah dengan mengikhlaskan ibadat kepada-Nya (dan menjauhi bawaan syirik), sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai (amalan yang demikian). ( Ayat 14 : Surah al-Mu’min )

Allah telah menetapkan etika kehidupan yang perlu dijunjung, dihayati, diamalkan, disebarkan dan diperjuangkan oleh kaum muslimin dengan sepenuh jiwa raga dalam keadaan ikhlas karena Allah, meskipun ada orang-orang yang tidak suka, orang-orang yang menghina, orang-orang yang membangkang dan mengadakan perlawanan.

Katakanlah: “Tuhanku menyuruh berlaku adil (pada segala perkara), dan (menyuruh supaya kamu) hadapkan muka (dan hati) kamu (kepada Allah) dengan betul pada tiap-tiap kali mengerjakan shalat, dan beribadahlah dengan mengikhlaskan amal agama kepada-Nya semata-mata; (kareana) sebagaimana Ia telah menjadikan kamu pada mulanya, (demikian pula) kamu akan kembali (kepada-Nya)”. ( Ayat 29 : Surah al-A’raaf )

Sekalipun sukar mencapai peringkat ikhlas yang tertinggi tetapi harus diusahakan agar diperoleh keadaan hati yang ikhlas dalam segala perbuatan baik yang lahir maupun yang batin. Orang yang telah tumbuh di dalam hatinya rasa kasih Allah akan berusaha membentuk hati yang ikhlas. Mata hatinya melihat bahawa Allah jualah Tuhan Yang Maha Agung dan dirinya hanyalah hamba yang hina. Hamba berkewajiban tunduk, patuh dan taat kepada Tuhannya. Orang yang di dalam maqom ini beramal karena Allah, karena Allah yang memerintahkan supaya beramal, karena Allah berhak ditaati, karena perintah Allah wajib dilaksanakan, semuanya karena Allah tidak karena sesuatu yang lain. Golongan ini sudah dapat menawan hawa nafsu yang rendah dan pesona dunia tetapi dia masih melihat dirinya di samping Allah. Dia masih melihat dirinya yang melakukan amal. Dia gembira karena menjadi hamba Allah yang beramal karena Allah.
Sifat kemanusiaan biasa masih mempengaruhi hatinya.

Setelah rohaninya meningkat, hatinya dikuasai sepenuhnya oleh kehendak Allah, menjadi orang arif yang tidak lagi melihat kepada dirinya dan amalnya tetapi melihat Allah, Sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Apa saja yang ada padanya adalah anugerah Allah. Sabar, ridha, tawakal dan ikhlas yang ada padanya semuanya merupakan anugerah Allah, bukan amal yang lahir dari kekuatan dirinya.

Tingkat ikhlas yang paling rendah ialah apabila amal perbuatan bersih daripada riya’ (pamer) yang jelas dan yang samar tetapi masih terikat dengan keinginan kepada pahala yang dijanjikan Allah. Ikhlas seperti ini dimiliki oleh orang yang masih kuat bersandar kepada amal, yaitu hamba yang mentaati Tuannya karena mengharapkan upah daripada Tuannya itu.

Di bawah tingkatan ini tidak dinamakan ikhlas lagi. Tanpa ikhlas seseorang beramal karena sesuatu tipu daya kedunia, mau dipuji, mau menutupi kejahatannya agar orang percaya kepadanya dan bermacam-macam lagi tipu daya yang rendah. Orang dari golongan ini walaupun banyak melakukan amalan tetapi amalan mereka adalah laksana tubuh yang tidak bernyawa, tidak dapat menolong tuannya dan di hadapan Allah nanti akan menjadi debu yang tidak menolong orang yang melakukannya. Setiap orang yang beriman kepada Allah mesti mengusahakan ikhlas pada amalannya sebab tanpa ikhlas syiriklah yang menyertai amalan tersebut, sebanyak ketiadaan ikhlas itu.
(Amalkanlah perkara-perkara itu) dengan tulus ikhlas kepada Allah, serta tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya. (Ayat 31 : Surah al-Hajj )

“Serta (diwajibkan kepadaku): ‘Hadapkanlah seluruh dirimu menuju (ke arah mengerjakan perintah-perintah) diin dengan betul dan ikhlas, dan janganlah engkau menjadi orang-orang musyrik’”. Dan janganlah engkau (wahai Muhammad) menyembah atau memuja yang lain dari Allah, yang tidak dapat mendatangkan manfaat kepadamu dan tidak juga dapat mendatangkan mudharat kepadamu. Sekiranya engkau mengerjakan yang demikian, maka pada saat itu engkau menjadi bagian dari orang-orang yang berlaku zalim (terhadap diri sendiri dengan perbuatan syirik itu). ( Ayat 105 & 106 : Surah Yunus )

Daging dan darah binatang kurban itu tidak sekali-kali akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya ialah amal yang ikhlas yang berdasarkan takwa dari kamu. (Ayat 37 : Surah al-Hajj )

Allah menyeru supaya berbuat ikhlas dan tidak berbuat syirik. Ikhlas adalah lawan dari syirik. Jika sesuatu amal itu dilakukan dengan anggapan bahwa ada makhluk yang berkuasa mendatangkan manfaat atau mudarat, maka tidak ada ikhlas pada amal tersebut. Bila tidak ada ikhlas maka syiriklah ia yaitu sesuatu atau seseorang yang kepadanya amal itu ditujukan. Orang yang beramal tanpa ikhlas itu disebut sebagai orang zalim, walaupun pada lahiriahnya dia tidak menzalimi siapapun.

Intisari ikhlas adalah melakukan sesuatu karena Allah semata-mata, tidak ada kepentingan lain. Kepentingan diri sendiri merupakan musuh ikhlas yang paling utama. Kepentingan diri lahir dari nafsu. Nafsu selalu menginginkan kemewahan, kedudukan, kemuliaan, puji-pujian dan sebagainya. Apa yang lahir dari nafsu, itulah yang sering menghalang atau merusak keikhlasan.

Sumber :
http://pencaricintaillahi.blogspot.com/2009/01/kajian-kitab-al-hikam-karya-syekh-ibnu.html
Teks asli bisa diakses di sini : http://alhikam0.tripod.com/