Senin, 08 Februari 2010

4. ALLAH MAHA MENGATUR SEGALA URUSAN

KAJIAN KITAB AL – HIKAM
Karya : Syekh Ibnu Athaillah

4. ALLAH MAHA MENGATUR SEGALA URUSAN

Tenangkan hatimu dari urusan pengaturan dan pengurusan, karena apa yang diatur oleh selain-mu tentang urusan dirimu, tidak perlu engkau campur tangan.

Kita bertauhid melalui dua cara, pertama bertauhid dengan akal dan kedua bertauhid dengan hati. Bidang akal ialah ilmu dan jangkauan ilmu sangat luas, bermula dari pokok, kemudian kepada dahan-dahan dan seterusnya kepada ranting-ranting. Setiap ranting ada ujungnya, yaitu penyelesaiannya.

Ilmu bersepakat pada perkara pokok, berangsur berbeda pada cabangnya dan berselisih pada rantingnya atau penyelesaiannya. Jawaban suatu masalah selalu berubah-ubah menurut pendapat yang lebih benar yang baru ditemui. Apa yang dianggap benar pada permulaanya bisa jadi dipersalahkan pada ujungnya. Oleh karena ilmu bersifat demikian, maka orang awam yang larut membahas suatu perkara bisa jadi mengalami kekeliruan dan kekacauan pikiran. Salah satu perkara yang mudah mengganggu pikiran ialah soal takdir atau Qada (ketetapan Allah sejak azali) dan Qadar (perwujudan ketetapan Allah itu). Jika persoalan ini dibahas hingga kepada persoalan yang lebih detil lagi, seseorang akan menemui kebuntuan karena ilmu tidak akan mampu memberikan jawaban yang konkrit.

Qada dan Qadar diimani dengan hati. Tugas ilmu ialah membuktikan kebenaran apa yang diimani. Jika ilmu bertindak menggoyangkan iman maka ilmu itu harus disekat dan hati harus dibawa tunduk dengan iman. Kalimat Hikmah keempat di atas membimbing ke arah itu agar iman tidak dicampur dengan keraguan.

Selama nafsu dan akal menjadi hijab, beriman kepada perkara ghaib dan menyerah diri secara menyeluruh tidak akan dicapai. Qada dan Qadar termasuk dalam perkara ghaib. Perkara ghaib disaksikan dengan mata hati atau basirah. Mata hati tidak dapat memandang jika hati dibungkus oleh hijab nafsu. Nafsu adalah kegelapan, bukan kegelapan lahir tetapi kegelapan dalam keghaiban.

Kegelapan nafsu itu menghijab sedangkan mata hati memerlukan cahaya ghaib untuk melihat perkara ghaib. Cahaya ghaib yang menerangi alam ghaib adalah cahaya ruh karena ruh adalah urusan Allah. Cahaya atau nur hanya bersinar apabila sesuatu itu ada perkaitan dengan Allah.

Allah adalah cahaya bagi semua langit dan bumi. ( Ayat 35 : Surah an-Nur )
Dialah Yang Maha Tinggi derajat kebesaran-Nya, yang mempunyai Arasy (yang melambangkan keagungan dan kekuasaan-Nya); Ia memberikan wahyu perintah-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya (yang telah dipilih menjadi Rasul-Nya), supaya Ia memberi peringatan (kepada manusia) tentang hari pertemuan, - ( Ayat 15 : Surah al-Mu’min )

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (wahai Muhammad) – Al-Quran sebagai ruh (yang menghidupkan hati) dengan perintah Kami; engkau tidak pernah mengetahui (sebelum diwahyukan kepadamu); apakah Kitab (Al-Quran) itu, dan tidak juga mengetahui apakah iman itu; akan tetapi Kami jadikan Al-Quran cahaya yang menerangi, Kami beri petunjuk dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) membimbing dengan Al-Quran itu ke jalan yang lurus, - yaitu jalan Allah yang memiliki dan menguasai perkara yang ada di langit dan di bumi. Kepada Allah jualah kembali segala urusan. ( Ayat 52 & 53 : Surah asy-Syura )

Apabila cahaya ruh berhasil menghalau kegelapan nafsu, mata hati akan menyaksikan yang ghaib. Persaksian atau musyahadah mata hati membawa hati beriman kepada perkara ghaib dengan sebenar-benarnya.
Allah telah menghamparkan jalan yang lurus kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Dia berfirman:

Pada hari ini, Aku telah sempurnakan bagimu Diinmu, dan Aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan Aku telah ridhakan Islam itu menjadi Diinmu. ( Ayat 3 : Surah al-Maa’idah )

Umat Islam (yang mengamalkan ajaran Islam dengan sempurna) adalah umat terbaik karena Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada mereka dengan mengaruniakan Islam. Allah menjamin juga bahwa Dia ridha menerima Islam sebagai Diin (aturan hidup) mereka. Jaminan Allah itu sudah cukup bagi mereka yang menuntut keridhaan Allah untuk tidak menoleh ke kiri atau ke kanan, sebaliknya terus berjalan mengikut landasan yang telah dibangun oleh Islam.

Islam adalah pelembagaan yang lengkap mencakupi semua aspek kehidupan baik yang lahir maupun yang batin. Islam telah menjelaskan apa yang mesti diperbuat, apa yang mesti tidak diperbuat, bagaimana bertindak menghadapi sesuatu dan bagaimana jika tidak melakukan apa-apa. Segala peraturan dan etika sudah dijelaskan dari perkara yang paling kecil hingga kepada yang paling besar. Sudah dijelaskan cara beribadah, cara berhubungan sesama manusia, cara membagikan harta pusaka, cara mencari dan membelanjakan harta, cara makan, cara minum, cara berjalan, cara mandi, cara memasuki jamban, cara melaksanakan hukum qisas, cara melakukan hubungan seksual, cara menyempurnakan mayat dan semua aspek kehidupan diterangkan dengan jelas.

Umat Islam sebenarnya tidak perlu bertengkar tentang penyelesaian terhadap suatu masalah. Segala penyelesaian telah dibentangkan, hanya tegakkan iman dan rujuk kepada Islam itu sendiri niscaya segala pertanyaan akan terjawab. Begitulah besarnya nikmat yang dikaruniakan kepada umat Islam. Kita perlu menjiwai Islam untuk merasakan nikmat yang dikaruniakan itu. Kewajiban kita ialah melakukan apa yang telah Allah atur sementara hak mengatur atau mentadbir adalah hak Allah yang mutlak. Jika terdapat peraturan Allah yang tidak disetujui oleh nafsu kita, janganlah mengubah peraturan tersebut atau membuat peraturan baru, sebaliknya nafsu hendaklah ditekan supaya tunduk kepada peraturan Allah. Jika pendapat akal sesuai dengan Islam maka yakinilah akan kebenaran pendapat tersebut, dan jika penemuan akal berlainan dengan Islam maka akuilah bahwa akal telah khilaf di dalam penemuannya. Jangan memaksa Islam supaya tunduk kepada penemuan akal yang bersifat relatif , tetapi tundukkan akal kepada aturan Islam.

Orang yang mengamalkan tuntutan Islam disertai dengan beriman kepada Qada dan Qadar, jiwanya akan sentiasa tenang dan damai. Putaran roda kehidupan tidak membolak-balikkan hatinya karena dia melihat apa yang berlaku adalah menurut apa yang mesti berlaku. Dia mengamalkan ajaran terbaik yang telah dijamin oleh Allah. Hatinya tunduk kepada hakikat bahwa Allah yang mengatur dan mengurus, sementara seluruh hamba berkewajiban taat kepada-Nya, tidak perlu ikut campur dalam urusan-Nya.

Mungkin timbul pertanyaan apakah orang Islam tidak boleh menggunakan akal pikiran, tidak boleh mengurus kehidupannya dan tidak boleh berusaha memperbaiki kehidupannya? Apakah orang Islam mesti menyerah bulat-bulat kepada takdir tanpa usaha?

Allah menceritakan tentang urusan orang yang beriman:
Maka Yusuf pun mulai memeriksa tempat-tempat barang mereka, sebelum memeriksa tempat barang saudara kandungnya (Bunyamin), kemudian ia mengeluarkan benda yang hilang itu dari tempat simpanan barang saudara kandungnya. Demikianlah Kami sukseskan rencana untuk (menyampaikan hajat) Yusuf. Tidaklah ia akan dapat mengambil saudara kandungnya menurut undang-undang raja, kecuali jika dikehendaki oleh Allah. (Dengan ilmu pengetahuan), Kami tinggikan pangkat kedudukan siapa saja yang Kami kehendaki; dan tiap-tiap yang berilmu pengetahuan, ada lagi di atasnya yang lebih mengetahui. (Ayat 76 : Surah Yusuf )
Dan kepunyaan-Nya jualah kapal-kapal yang berlayar di lautan laksana gunung-gunung. (Ayat 24 : Surah ar-Rahmaan )

Nabi Yusuf a.s, dengan kepandaiannya, mengadakan muslihat untuk membawa saudaranya, Bunyamin, tinggal dengannya. Kepandaian dan muslihat yang pada lahirnya diatur oleh Nabi Yusuf a.s tetapi dengan tegas Allah mengatakan Dialah yang mengatur muslihat tersebut dengan kehendak dan kebijaksanaan-Nya. Kapal yang pada lahiriahnya dibangun oleh manusia tetapi dengan tegas Allah mengatakan kapal itu adalah kepunyaan-Nya. Ayat-ayat di atas memberi pengajaran mengenai “usaha” yang dilakukan oleh manusia.

Rasulullah s.a.w sendiri menganjurkan agar pengikut-pengikut baginda s.a.w mengurus kehidupan mereka. Akan tetapi, usaha yang disarankan oleh Rasulullah s.a.w ialah usaha yang tidak memutuskan hubungan dengan Allah, tidak berpaling dari tawakal dan penyerahan kepada Allah yang mengatur dan mengurus terlaksananya sesuatu. Janganlah seseorang menyangka apabila dia menggunakan otaknya untuk berpikir maka otak itu berfungsi dengan sendiri tanpa campur tangan Ilahi. Dari mana datangnya ilham yang diperoleh otak itu jika tidak dari Allah? Allah lah yang telah membuat otak, membuatnya berfungsi dan Dia juga yang mendatangkan buah pikiran kepada otak itu.

Usaha yang dianjurkan oleh Rasulullah s.a.w ialah usaha yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunah. Islam hendaklah dijadikan penyaring untuk mencari pendapat dan tindakan yang benar dari yang salah. Islam menegaskan bahwa sekiranya tidak ada daya dan upaya dari Allah, pasti tidak ada apapun yang dapat dilakukan oleh siapapun. Oleh karena itu, seseorang mestinya menggunakan daya dan upaya yang dikaruniakan Allah kepadanya di jalan yang diridhai Allah. Seorang hamba Allah tidak sepatutnya melepaskan diri dari penyerahan kepada Allah Yang Maha Mengatur.

Apabila apa yang ditakdirkan-Nya sukses menjadi kenyataan maka dia akui bahwa kesuksesannya itu adalah karena persesuaian usahanya dengan kehendak Allah. Jika apa yang usahakannya tidak sukses, harus diakui pula bahwa usahanya wajib tunduk kepada aturan Allah dan ketidak suksesannya itu juga termasuk di dalam pengaturan Allah. Hanya Allah lah yang berhak untuk menentukan. Allah Maha Berdiri Sendiri, tidak ada siapapun yang mampu campur tangan dalam urusan-Nya.

Bersambung.....

Sumber :
http://pencaricintaillahi.blogspot.com/2009/01/kajian-kitab-al-hikam-karya-syekh-ibnu.html
Teks asli bisa diakses di sini : http://alhikam0.tripod.com/