Senin, 08 Februari 2010

7. PENGERTIAN JANJI ALLAH

KAJIAN KITAB AL – HIKAM
Karya : Syekh Ibnu Athaillah

7. PENGERTIAN JANJI ALLAH

Jangan sampai meragukan janji Allah karena tidak terlaksana apa yang telah dijanjikan meskipun telah tiba masanya, supaya keraguan itu tidak merusak mata hatimu dan tidak memadamkan cahaya sir (mata batin)mu

Doa dan janji Allah berkaitan erat. Allah menjanjikan untuk menerima semua doa. Seorang hamba sudah sangat kuat dan kerap berdo’a, hamba tersebut berdo’a agar diselamatkan dari suatu musibah. Masa musibah itu sudah tiba tetapi keselamatan yang diharapkan tidak kunjung datang. Timbulah keraguan dalam hati hamba itu tentang janji-janji Allah.

Sebagian orang beriman diuji dengan penerimaan atau penolakan do’a, sebagian yang lain diuji dengan terlaksananya atau tertahannya janji Allah.
Janji Allah ada dalam bentuk umum dan ada dalam bentuk khusus. Janji umum banyak terdapat di dalam al-Quran seperti janji surga terhadap orang yang berbuat kebajikan, janji neraka terhadap orang yang durhaka, janji ketinggian derajat bagi orang yang berjihad di jalan Allah, janji kekuasaan di atas muka bumi terhadap orang yang beriman dan beramal salih dan lain-lain lagi.

Di dalam surah an-Nisaa’ ayat 95 Allah menjanjikan ganjaran yang besar bagi orang yang berjihad di jalan-Nya. Dalam surah an-Nur ayat 55 Allah menjanjikan kepada orang yang beriman dan beramal salih bahwa mereka akan dijadikan khalifah di bumi, Dia akan teguhkan agama mereka dan Dia akan hilangkan ketakutan-ketakutan mereka.
Banyak lagi janji Allah yang dapat kita temukan di dalam al-Quran. Janji-janji Allah umumnya berkaitan dengan amal, sesuai dengan sunnatullah yang menguasai perjalanan kehidupan. Ada juga janji secara khusus kepada orang-orang tertentu, misalnya melalui mimpi.

Orang yang beriman kepada Allah percaya kepada janji-janji-Nya. Janji Allah menjadi pendorong kepada mereka untuk bekerja keras, beramal salih dan berjihad di jalan-Nya. Allah tidak akan pernah memungkiri janji-janji-Nya.
Namun, diantara golongan orang-orang yang percaya kepada janji-janji Allah itu, ada sebagian yang berpenyakit seperti yang diidap oleh sebagian orang yang berdo’a kepada Allah, yaitu orang yang berdo’a dan membuat tuntutan dengan do’anya, begitu pula dengan penyakit yang diidap oleh para pelaku amal yaitu mereka yang membuat tuntutan dengan amalnya, karena mereka menyangka Allah berjanji memberinya sesuatu menurut amalannya.

Kalimat Hikmah ketujuh mengaitkan janji Allah dengan mata hati dan Nur Sir (Rahasia Ilahi). Persoalan mata hati telah disentuh pada Hikmat ke lima. Penyingkapan rahasia mata hati membawa kita pada persoalan diri lahir, diri batin dan seterusnya hingga persoalan ruh. Penjelasan mengenai mata hati membawa kepada pengenalan terhadap Alam Barzakh dan keabadian.

Mata hati yang kuat tidak berhenti sampai pada Alam Barzakh, malah ia meneruskan ke peringkat alam yang lebih tinggi yang dinamakan Alam Malakut Atas. Pandangan mata hati seterusnya sampai kepada kulit alam yang dinamakan Arasy Yang Meliputi. Semua makhluk Allah menghuni ruang di dalam atau dibatasi oleh kulit atau kerangka alam, yaitu Arasy.

Tidak ada mahluk yang wujud di luar dari kulit alam. Di sini timbul persoalan berat dan rumit untuk diuraikan. Semua kejadian berada di dalam kulit alam. Kulit alam adalah yang terakhir. Apabila sudah sampai ke kulit alam tidak boleh dikatakan bahwa wujud keTuhanan berada di luar, selepas, di balik atau dengan istilah-istilah lain, karena tidak ada apa-apa lagi. Wujud ketuhanan bukanlah satu jenis alam lain. Tidak boleh dikatakan wujud alam Ketuhanan selepas alam kita ini. Allah Maha Berdiri Sendiri, tidak menempati ruang dan waktu, tidak juga terikat dengan ruang dan waktu. Jika demikian persoalannya, bagaimanakah yang dikatakan keTuhanan itu sedangkan kita sudah menjelajah ke seluruh alam metafisik tetapi Allah tidak juga ditemukan?

Antara alam yang sementara dengan alam abadi terdapat Alam Barzakh. Barzakh adalah sekatan. Barzakh itulah yang menghubungkan dua keadaan yang berbeda. Misalnya, barzakh bagi laut dan sungai ialah muara. Air laut adalah asin dan air sungai adalah tawar. Air pada barzakh keduanya, yaitu muara. Muara merupakan campuran asin dengan tawar rasanya dinamakan payau. Payau bukan asin dan bukan selain asin. Payau juga bukan tawar dan bukan selain tawar. Muara bukan laut dan bukan sungai dan bukan juga selain laut dan sungai. Jika mau melihat laut dan sungai dengan sekali pandang atau sebagai satu kewujudan maka lihatlah kepada muara. Jika mau merasai asin dan tawar sekaligus maka rasailah air payau.

Jika terdapat barzakh diantara makhluk dengan makhluk, terdapat juga barzakh diantara Tuhan dengan makhluk. Barzakh inilah yang menjadi penghubung antara Tuhan dengan hamba. Tanpa barzakh ini tidak mungkin berlaku kewujudan makhluk yang diciptakan Allah karena tidak ada talian atau jembatan yang menghubungkannya.
Barzakh di antara Allah dengan hamba itu dinamakan Sirullah atau Rahasia Allah, yang hanya Allah sajalah yang mengetahui hakikat yang sebenarnya. Sir inilah yang memungkinkan adanya hubungan diantara Pencipta dengan yang dicipta. Sir atau Rahasia itu memancarkan nurnya kepada mata hati. Mata hati yang bersinarkan Nur Sir (rahasia Ketuhanan) akan mendapat pengenalan tentang Sir dan mengalami suasana tauhid peringkat yang tertinggi.

Apabila hakikat Sir ditemui nyatalah firman Allah :
Dan Kami adalah lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,-(Ayat 16:Surah Qaaf)
Dan Ia tetap bersama-sama kamu di mana saja kamu berada. (Ayat 4: Surah al-Hadiid)

“Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang kamu perbuat itu!”( Ayat 96 : Surah as-Saaffaat )
Dan kamu tidak dapat menentukan kemauan kamu (mengenai sesuatu pun), kecuali dengan cara yang diatur oleh Allah, Tuhan yang memelihara dan mangurus seluruh alam. ( Ayat 29 : Surah at-Takwiir)

Tiada daya dan upaya kecuali beserta Allah.

Apa yang ada pada kita semuanya adalah karunia dari Allah. Kemauan kita untuk melakukan amal salih datangnya dari Iradat Allah, tanpa Iradat Allah kita akan menjadi dungu, tidak berkemauan. Apabila kita melakukan amal kebaikan, kita tidak terlepas dari menggunakan daya dan upaya yang datangnya dari Allah. Tanpa Kudrat Allah kita tidak mampu bergerak. Kemampuan kita untuk berdo’a dan beramal adalah semata-mata karunia Allah.

Mereka mengira dirinya berbudi kepadamu (wahai Muhammad) dengan sebab mereka telah Islam (tidak melawan dan tidak menentang). Katakanlah (kepada mereka): “Jangan kamu mengira keislaman kamu itu sebagai budi kepadaku, bahkan (kalaulah sah dakwaan kamu itu sekalipun maka) Allah jualah yang berhak membangkit-bangkitkan budi-Nya kepada kamu, karena Dialah yang memimpin kamu kepada iman, kalau betul kamu orang-orang yang benar (pengakuan imannya). ( Ayat 17 : Surah al-Hujuraat )

Kehendak dan perbuatan kita adalah anugerah dari Allah. Jadi, apakah hak kita untuk menuntut Allah dengan do’a dan amal kita. Memang benar Allah berjanji untuk mengabulkan semua do’a dan mengaruniakan sesuatu menurut amalan. Namun, tidak ada satupun makhluk-Nya yang layak menagih janji tersebut. Janji Allah kembali kepada diri-Nya Sendiri. Jangan coba-coba menuntut janji Allah sebab seandainya Dia menuntut kamu dengan amanah yang dipertaruhkan kepada kamu niscaya semua amalan kamu akan hancur berkeping-keping berterbangan bagai debu, tidak ada walau sebesar atom pun yang layak dipersembahkan kepada-Nya jika kamu dihadapkan kepada keadilan-Nya.

Oleh karena itu, bernaunglah di bawah payung rahmat dan ampunan-Nya, jangan diungkit-ungkit tentang amal kamu dan janji-Nya. Contohlah akhlak Rasulullah s.a.w yang telah menerima janji Allah yaitu ketika baginda s.a.w telah bermimpi memasuki kota Makkah. Kaum muslimin percaya bahawa mimpi Rasulullah s.a.w adalah mimpi yang benar dan mereka yakin bahwa itu adalah janji Allah kepada Rasul-Nya, yang Dia mengijinkan mereka bersama-sama memasuki kota Makkah sekalipun musyrikin Quraisy masih menguasai kota tersebut. Kaum muslimin berangkat dari Madinah ke Makkah.

Rombongan mereka dihadang sebelum sampai di Makkah. Kaum musyrikin menghalang-halangi kaum muslimin memasuki Makkah. Buntut dari peristiwa itu ditandatanganinya Perjanjian Hudaibiah. Rasulullah s.a.w setuju agar kaum muslimin tidak memasuki Makkah pada tahun itu. Sayidina Umar al-Khattab r.a yakin akan mimpi Rasulullah s.a.w. dan beliau juga percaya bahwa mimpi Rasulullah s.a.w itu adalah janji Allah yang mengijinkan mereka memasuki kota Makkah. Beliau r.a juga yakin bahwa janji Allah adalah sesuatu yang pasti kebenarannya maka ia tetap tegas akan memasuki Makkah walaupun dengan cara berperang. Dan ia yakin itu adalah tindakan yang benar. Beliau r.a menganjurkan agar berperang supaya kebenaran mimpi Rasulullah s.a.w dan kebenaran janji Allah menjadi kenyataan. Iman Sayyidina Umar r.a yang sangat mendalam membuatnya mau maju terus menurut petunjuk yang sampai kepada beliau r.a. tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri.

Lain halnya Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq dengan kecemerlangan Nur Sirnya beliau bersikap menyetujui tindakan Rasulullah s.a.w menandatangani dan mencap Perjanjian Hudaibiah. Melalui Nur Sirnya, Sayyidina Abu Bakar r.a dapat menyaksikan apa yang terlindung dari pandangan mata hati Umar r.a.

Kenyataannya, perjanjian tersebut banyak memberi manfaat kepada kaum muslimin. Kebijaksanaan Rasulullah s.a.w menandatangani Perjanjian Hudaibiah bersesuaian dengan kebenaran pandangan mata hati Abu Bakar r.a melalui pancaran Nur Sirnya. Sesuai dengan Perjanjian Hudaibiah, pada tahun berikutnya kaum muslimin dapat memasuki kota suci Makkah secara aman. Benarlah apa yang dimimpikan oleh Rasulullah s.a.w dan benarlah janji Allah. Rasulullah s.a.w menerima janji Allah sebagai satu karunia yang wajib diyakini dengan cara bertawakal kepada Allah dalam pelaksanaannya. Bila terjadi sesuatu yang pada lahirnya menghalang pelaksanaan janji Allah itu, Rasulullah s.a.w tidak menagih Allah dengan janji tersebut, sebaliknya baginda s.a.w mengembalikannya kepada Allah., dan sebagai balasan terhadap kerelaan menerima takdir Allah maka Allah karuniakan pula Perjanjian Hudaibiah yang banyak membantu perkembangan dakwah Islam. Allah sekali-kali tidak melupakan janji-Nya mengijinkan kaum muslimin menziarahi tanah suci Makkah, dengan rahmat-Nya kaum muslimin memasuki kota Makkah pada tahun berikutnya dalam suasana aman. Jadi, apabila janji Allah dikembalikan kepada Allah maka Allahlah yang melaksanakannya.

Peristiwa di atas memberi pengajaran kepada kita tentang Sir Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq r.a, yaitu Rahsia pada hati nuraninya, firasat yang menghubungkannya dengan Allah. Sir yang menguasainya itulah yang menjadikannya bergelar as-Shiddiq (Seorang yang senantiasa membenarkan). Beliau r.a dapat membenarkan kebenaran Nabi Muhammad s.a.w tanpa pertimbangan dan bantahan. Beliau r.a membenarkan peristiwa Isra Mi’raj ketika kebanyakan kaum Quraisy mendustakannya. Abu Bakar r.a bukanlah seorang dungu yang bertaklid secara membabi buta. Namun, apa yang sampai kepadanya diakui oleh Sirnya yang memperoleh pengesahan dari Allah. Cahaya kebenaran yang keluar dari Rasulullah s.a.w selalu dibenarkan cahaya kebenaran yang keluar dari Sir Abu Bakar r.a, sebab itulah Abu Bakar r.a senantiasa membenarkan Rasulullah saw tanpa syarat dan usulan. Bukti apa lagi yang diperlukan apabila Sir telah mendapat jawaban dari Allah s.w.t. Sir atau Rahsia Allah itulah yang tidak berpisah dari Allah, sentiasa menghadap kepada Allah dan mendengar Kalam Allah. Sir itulah yang mengenal Allah

Kemurnian Sir Abu Bakar as-Shiddiq r.a terbukti lagi ketika wafatanya Rasulullah s.a.w. Sayyidina Umar r.a yang dikuasai oleh iman yang sangat kuat dan dalam yang melahirkan cinta yang mengharu biru terhadap jungjungannya, Rasulullah s.a.w, Kekasih Allah, beliau r.a manghunus pedang siap memancung kepala siapa saja yang berani mengatakan Rasulullah s.a.w sudah wafat. Namun, Sayyidina Abu Bakar r.a, yang kecintaannya terhadap Rasulullah s.a.w sama-sama mendalam mampu mengatakan, “ Barang siapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad sudah wafat, tetapi siapa yang menyembah Allah maka sesungguhnya Allah Maha Hidup tidak akan wafat selama-lamanya!”

Begitulah murninya cahaya atau nur yang diterima oleh Sayyidina Abu Bakar r.a di dalam hatinya yang dipancarkan oleh Sir. Tidak salah jika dikatakan sekiranya mau memahami hakikat Sir maka pahamilah diri Sayyidina Abu Bakar as- Shiddiq r.a. Mengenali beliau r.a membuat seseorang mengenali tanda-tanda Sir.

Kalam Hikmat ketujuh ini memberi panduan untuk memahami hakikat Sir. Tanda seseorang tidak mendapat sinar Nur Sir ialah dia meragukan janji-janji Allah disebabkan dia membuat definisi dan memaknai maksud janji Allah menurut seleranya sendiri. Bagaimana kedudukan kita terhadap janji Allah, begitulah keadaan hati kita berhubungan dengan Rahasia Allah atau Sirrullah.

Bersambung.....

Sumber :
http://pencaricintaillahi.blogspot.com/2009/01/kajian-kitab-al-hikam-karya-syekh-ibnu.html
Teks asli bisa diakses di sini : http://alhikam0.tripod.com/