Senin, 08 Februari 2010

2. AHLI ASBAB DAN AHLI TAJRID

KAJIAN KITAB AL – HIKAM
Karya : Syekh Ibnu Athaillah

2. AHLI ASBAB DAN AHLI TAJRID

Keinginanmu untuk bertajrid padahal Allah masih meletakanmu dalam suasana asbab adalah syahwat yang samar, sebaliknya keinginanmu untuk berasbab padahal Allah telah meletakanmu dalam suasana tajrid berarti turun dari semangat dan tingkat yang tinggi.

Kalimat Hikmah 1 menerangkan tanda orang yang bersandar kepada amal. Bergantung kepada amal adalah sifat manusia biasa yang hidup dalam dunia ini. Dunia ini dinamakan alam asbab. Apabila perjalanan hidup keduniaan dipandang melalui mata ilmu atau mata akal akan dapat disaksikan kerapian susunan sistem sebab musabab yang mempengaruhi segala kejadian. Tiap sesuatu berlaku menurut hukum sebab-akibat.
Hubungan sebab dengan akibat sangat erat. Mata akal melihat dengan jelas pengaruh sebab dalam menentukan akibat. Kerapian sistem sebab musabab ini membolehkan manusia mengambil manfaat unsur-unsur dan kejadian alam. Manusia dapat menentukan unsur-unsur yang bisa merusak kesehatan lalu menjauhkannya dan manusia juga dapat menentukan unsur-unsur dapat menjadi obat lalu menggunakannya.

Dengan memahami hubungan sebab-akibat ini manusia bisa membuat ramalan cuaca, pasang surut air laut, angin, ombak, letusan gunung berapi, menghitung dengan tepat keuntungan dan kerugian usaha dan lain-lain sebagainya. Hal demikian disebabkan karena sistem yang mengawal perjalanan unsur-unsur yang berada di alam ini berada dalam suasana yang sangat rapi dan sempurna, membentuk hubungan sebab dan akibat yang padu dan serasi.

Allah Yang Maha Mengatur mengadakan sistem sebab musabab yang rapi adalah untuk kemudahan manusia menyusun kehidupan mereka di dunia ini. Kekuatan akal dan pancaindera manusia mampu menguasai kehidupan yang dikaitkan dengan perjalanan sebab musabab. Hasil dari perhatian dan kajian akal itu lahirlah berbagai jenis ilmu tentang alam dan kehidupan, seperti ilmu sains, astronomi, kedokteran, teknologi pangan, akuntansi dan sebagainya. Semua jenis ilmu itu dibentuk berdasarkan perjalanan hukum sebab-akibat.

Kerapian sistem sebab musabab menyebabkan manusia terikat kuat dengan hukum sebab-akibat. Manusia bergantung kepada amal (sebab) dalam mendapatkan hasil (akibat). Manusia yang melihat kepada pengaruh sebab dalam menentukan akibat serta bersandar dengannya dinamakan ahli asbab.

Sistem sebab musabab atau perjalanan hukum sebab-akibat sering membuat manusia lupa kepada kekuasaan Allah. Mereka melakukan sesuatu dengan penuh keyakinan bahwa akibat terlahir karena adanya penyebab, seolah-olah Allah tidak ikut campur dalam urusan mereka.

Allah tidak suka hamba-Nya ‘mempertuhankan’ sesuatu kekuatan sehingga mereka lupa kepada kekuasaan-Nya. Allah tidak suka jika hamba-Nya sampai kepada tahap mempersekutukan diri-Nya dan kekuasaan-Nya dengan unsur-unsur alam dan hukum sebab-akibat ciptaan-Nya. Dialah yang meletakkan pengaruh kepada unsur-unsur alam itu dan Dia berkuasa pula membuat unsur-unsur alam itu lemah seperti semula. Dia yang meletakkan kerapian pada hukum sebab-akibat, berkuasa pula merombak hukum tersebut.

Dia mengutuskan rasul-rasul dan nabi-nabi membawa mukjizat yang merombak hukum sebab-akibat untuk mengembalikan pandangan manusia kepada-Nya, agar keyakinan sebab musabab tidak menghijab keTuhanan-Nya. Kelahiran Nabi Isa a.s, terbelahnya laut dipukul oleh tongkat Nabi Musa a.s, kehilangan kuasa membakar yang ada pada api tatkala Nabi Ibrahim a.s masuk ke dalamnya, keluarnya air yang jernih dari jari-jari Nabi Muhammad s.a.w dan banyak lagi yang didatangkan oleh Allah, merombak pengaruh hukum sebab-akibat untuk menyadarkan manusia tentang hakikat bahwa kekuasaan Allah yang melingkupi perjalanan alam raya dan hukum sebab-akibat. Alam dan hukum yang ada padanya seharusnya membuat manusia mengenal Allah, bukan menutup pandangan terhadap Allah..

Sebagian manusia diselamatkan Allah daripada keyakinan sebab musabab ini. Namun, sebagai manusia yang hidup dalam dunia mereka masih bergerak dalam arus sebab musabab, hanya saja mereka tidak meletakkan keyakinan dirinya pada hukum sebab-akibat. Mereka sentiasa melihat kekuasaan Allah yang menetapkan atau mencabut pengaruh pada sesuatu hukum sebab-akibat. Jika sesuatu sebab tepat mengeluarkan akibat menurut yang biasa terjadi, mereka melihatnya sebagai kekuasaan Allah yang menetapkan kekuatan kepada sebab tersebut dan Allah juga yang mengeluarkan akibatnya.

Allah berfirman:
Segala yang ada di langit dan di bumi tetap mengucap tasbih kepada Allah; dan Dialah Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Dialah yang menguasai dan memiliki langit dan bumi; Ia menghidupkan dan mematikan; dan Ia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. ( Ayat 1 & 2 : Surah al-Hadiid )

Maka Kami (Allah) berfirman: “Pukullah si mati dengan sebagian anggota lembu yang kamu sembelih itu”. (Mereka pun memukulnya dan ia kembali hidup). Demikianlah Allah menghidupkan orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepada kamu tanda-tanda kekuasaan-Nya, supaya kamu memahaminya. ( Ayat 73 : Surah al-Baqarah )
Orang yang melihat kepada kekuasaan Allah mengamati hukum sebab-akibat tetapi tidak meletakkan perhatian mereka kepada hukum tersebut. Orang yang pergantungannya bulat kepada Allah, tidak kepada amal yang menjadi penyebab disebut ahli tajrid.

Ahli tajrid, seperti juga ahli asbab, melakukan sesuatu menurut peraturan sebab-akibat. Ahli tajrid juga makan dan minum. Ahli tajrid memanaskan badan dan memasak dengan menggunakan api juga. Ahli tajrid juga melakukan sesuatu pekerjaan yang berhubungan dengan rezekinya. Tidak ada perbedaan di antara amal ahli tajrid dengan amal ahli asbab. Perbedaannya terletak di dalam diri yaitu dalam hati. Ahli asbab melihat kepada kekuatan hukum alam. Ahli tajrid melihat kepada kekuasaan Allah pada hukum alam itu. Walaupun ahli asbab mengakui kekuasaan Allah tetapi penghayatan dan kekuatannya pada hati tidak sekuat ahli tajrid.

Dalam melakukan kebaikan, ahli asbab perlu melakukan mujahadah (kerja keras). Mereka perlu memaksa diri mereka berbuat baik dan perlu menjaga kebaikan itu agar tidak menjadi rusak. Ahli asbab perlu memperingatkan dirinya supaya berbuat ikhlas dan perlu melindungi keikhlasannya agar tidak dirusakkan oleh riya’ (berbuat baik untuk diperlihatkan kepada orang lain agar dia dikatakan orang baik), takabur (sombong dan membesar-besarkan diri, merasakan diri sendiri lebih baik, lebih tinggi, lebih kuat dan lebih cerdik daripada orang lain) dan sum’ah (menarik perhatian orang lain kepada kebaikan yang telah dibuatnya dengan cara bercerita mengenainya, agar orang mengakui bahwa dirinya adalah orang baik). Jadi, ahli asbab perlu memelihara kebaikan sebelum melakukannya dan juga selepas melakukannya.

Suasana hati ahli tajrid berbeda dari apa yang dialami oleh ahli asbab. Jika ahli asbab memperingatkan dirinya supaya ikhlas, ahli tajrid tidak melihat kepada ikhlas karena mereka tidak bersandar kepada amal kebaikan yang mereka lakukan. Apa saja kebaikan yang keluar dari mereka, mereka serahkan sepenuhnya kepada Allah yang mengaruniakan kebaikan tersebut. Ahli tajrid tidak perlu menentukan perbuatannya ikhlas atau tidak ikhlas. Melihat keihklasan pada perbuatan sama dengan melihat diri sendiri yang ikhlas. Apabila seseorang merasakan dirinya sudah ikhlas, sesungguhnya pada dirinya masih tersembunyi keegoan diri yang membawa kepada riya’, ujub (merasakan diri sendiri sudah baik) dan sum’ah. Apabila tangan kanan berbuat ikhlas dalam keadaan tangan kiri tidak menyadari perbuatan itu barulah tangan kanan itu benar-benar ikhlas. Orang yang ikhlas berbuat kebaikan dengan melupakan kebaikan itu. Ikhlas sama seperti harta benda. Jika seorang miskin diberi harta oleh jutawan, orang miskin itu pasti malu menepuk dada kepada jutawan tersebut dengan mengatakan bahwa dirinya sudah kaya.

Orang tajrid yang diberi ikhlas oleh Allah mengembalikan kebaikan mereka kepada Allah. Jika harta orang miskin itu hak si jutawan tadi, ikhlas orang tajrid adalah hak Allah.

Jadi, orang asbab bergembira karena melakukan perbuatan dengan ikhlas, orang tajrid melihat pula bahwa Allah sajalah yang mengatur segala urusan. Ahli asbab dibawa kepada syukur, ahli tajrid berada dalam penyerahan.

Kebaikan yang dilakukan oleh ahli asbab merupakan sentuhan kasih sayang Allah agar mereka ingat kepada Allah yang memimpin mereka kepada kebaikan. Sedangkan kebaikan yang dilakukan oleh ahli tajrid merupakan karunia Allah kepada sekelompok manusia yang tidak memandang kepada diri mereka dan kepentingannya. Ahli asbab melihat kepada terwujudnya hukum sebab-akibat. Ahli tajrid melihat kepada terwujudnya kekuasaan dan ketentuan Allah.

Dari kalangan ahli tajrid, Allah memilih sebagiannya dan meletakkan kekuatan hukum pada mereka. Kelompok ini bukan sekedar tidak melihat kepada terwujudnya hukum sebab-akibat, malah mereka dikaruniai kekuatan menguasai hukum sebab-akibat itu. Mereka adalah nabi-nabi dan wali-wali pilihan. Nabi-nabi dianugerahkan mukjizat dan wali-wali dianugerahkan kekeramatan. Mukjizat dan kekeramatan merombak pengaruh hukum sebab-akibat.

Di dalam kumpulan wali-wali pilihan yang dikaruniai kekuatan menguasai hukum sebab-akibat itu terdapatlah orang-orang seperti Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, Abu Hasan as-Sazili, Rabiatul Adawiah, Ibrahim Adham dan lain-lain. Cerita tentang kekeramatan mereka sering diperdengarkan. Orang yang cenderung kepada tarekat tasawuf gemar menjadikan kehidupan aulia Allah tersebut sebagai contoh, dan yang mudah memikat perhatian adalah bagian kekeramatan.

Kekeramatan biasanya dikaitkan dengan perilaku kehidupan yang zuhud (seperlunya terhadap keduniaan) dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah. Timbul anggapan bahwa jika mau memperoleh kekeramatan seperti mereka mestilah hidup sebagaimana mereka.
Orang yang berada pada peringkat permulaan bertarekat cenderung untuk memilih jalan bertajrid yaitu membuang segala ikhtiar dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah. Sikap total bertajrid membuat seseorang meninggalkan pekerjaan, isteri, anak-anak, masyarakat dan dunia seluruhnya. Semua harta disedekahkan karena dia melihat Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq telah berbuat demikian. Ibrahim bin Adham telah meninggalkan takhta kerajaan, isteri, anak, rakyat dan negerinya lalu tinggal di dalam gua.

Biasanya orang yang bertindak demikian tidak dapat bertahan lama. Kesudahannya dia mungkin meninggalkan kelompok tarekatnya dan kembali kepada kehidupan duniawi. Ada juga yang kembali kepada kehidupan yang lebih buruk daripada keadaan sebelum bertarekat dahulu karena dia mau menebus kembali apa yang telah ditinggalkannya. Keadaan demikian diakibatkan bertajrid tanpa ilmu. Orang yang baru masuk ke dalam bidang latihan kerohanian sudah mau beramal seperti aulia Allah yang sudah berpuluh-puluh tahun melatih diri. Tindakan membuang semua yang dimilikinya secara tergesa-gesa membuatnya berhadapan dengan ujian dan cobaan yang boleh jadi menggoncangkan imannya dan mungkin juga membuatnya berputus-asa.

Apa yang harus dilakukan bukanlah meniru membabi buta kehidupan para aulia Allah yang telah mencapai maqom atau kedudukan yang tinggi. Seseorang haruslah melihat kepada dirinya dan mengenal dengan pasti kedudukannya, kemampuanya dan daya-tahannya. Ketika masih di dalam maqom asbab seseorang haruslah bertindak sesuai dengan hukum sebab-akibat. Dia harus bekerja untuk mendapatkan rezekinya dan harus pula berusaha menjauhkan dirinya daripada bahaya atau kehancuran.

Ahli asbab perlu berbuat demikian karena dia masih terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dia masih melihat bahwa tindakan makhluk memberi pengaruh kepada dirinya. Oleh karena itu, adalah wajar sekiranya dia melakukan tindakan yang menurut pandangannya akan mendatangkan kesejahteraan kepada dirinya dan orang lain.
Tanda Allah meletakkan seseorang pada kedudukan sebagai ahli asbab ialah apabila urusannya dan tindakannya yang menurut kesesuaian hukum sebab-akibat tidak menyebabkan ia mengabaikan kewajiban terhadap tuntutan agama. Dia tetap merasa ringan untuk berbakti kepada Allah, tidak terlena dengan nikmat duniawi dan tidak memiliki rasa iri hati terhadap orang lain.

Apabila ahli asbab berjalan menurut hukum asbab maka jiwanya akan maju dan berkembang dengan baik tanpa menghadapi kegoncangan yang besar yang boleh jadi menyebabkan dia berputus asa dari rahmat Allah. Rohaninya akan menjadi kuat sedikit demi sedikit dan mendorongnya ke dalam maqom tajrid secara selamat. Akhirnya dia mampu untuk bertajrid sepenuhnya.

Ada pula orang yang dipaksa oleh takdir supaya bertajrid. Orang ini asalnya adalah ahli asbab yang berjalan menurut hukum sebab-akibat sebagaimana orang ramai. Kemungkinan kehidupan seperti itu tidak akan menambahkan kematangan rohaninya. Perubahan jalan perlu baginya supaya dia lebih maju dalam bidang kerohanian. Takdir bertindak memaksanya untuk terjun ke dalam lautan tajrid. Dia akan mengalami keadaan di mana hukum sebab-akibat tidak lagi membantunya untuk menyelesaikan masalahnya. Sekiranya dia seorang raja, takdir mencabut kerajaannya. Sekiranya dia seorang hartawan, takdir menghapuskan hartanya. Sekiranya dia seorang yang cantik, takdir menghilangkan kecantikannya itu. Takdir memisahkannya daripada apa yang dimiliki dan dikasihinya.

Pada peringkat permulaan menerima kedatangan takdir yang demikian, sebagai ahli asbab, dia berikhtiar menurut hukum sebab-akibat untuk mempertahankan apa yang dimiliki dan dikasihinya. Jika dia tidak berdaya menolong dirinya, dia akan meminta pertolongan orang lain. Setelah puas dia berikhtiar termasuk mohon bantuan orang lain tetapi tangan takdir tetap telah merengut sistem sebab-akibat yang terjadi pada dirinya. Apabila dia sendiri dengan dibantu oleh orang lain tidak mampu mengatasi arus takdir maka dia tidak ada pilihan kecuali berserah kepada takdir.

Dalam keadaan begitu dia akan lari kepada Allah dan merayu agar Allah menolongnya. Pada peringkat ini seseorang itu akan kuat beribadah dan menumpukan sepenuh hatinya kepada Allah. Dia benar-benar berharap Allah akan menolongnya mengembalikan apa yang pernah dimilikinya dan dikasihinya. Akan tetapi, pertolongan tidak juga sampai kepadanya sehingga dia benar-benar terpisah dari apa yang dimiliki dan dikasihinya itu. Luputlah harapannya untuk memperolehnya kembali. Ridhalah dia dengan perpisahan itu. Dia tidak lagi merayu kepada Allah sebaliknya dia menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Dia menyerah bulat-bulat kepada Allah, tidak ada lagi ikhtiar, pilihan dan kehendak diri sendiri. Jadilah dia seorang hamba Allah yang bertajrid. Apabila seseorang hamba benar-benar bertajrid maka Allah sendiri yang akan mengurus kehidupannya.

Allah menggambarkan suasana tajrid dengan firman-Nya:
Dan (ingatlah) berapa banyak binatang yang tidak membawa rezekinya bersama, Allah jualah yang memberi rezeki kepadanya dan kepada kamu; dan Dialah jua Yang Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui. ( Ayat 60 : Surah al-‘Ankabut )

Makhluk Allah seperti burung, ikan, dan sebagainya tidak memiliki tempat simpanan makanan. Mereka adalah ahli tajrid yang dijamin rezekinya oleh Allah. Jaminan Allah itu meliputi juga bangsa manusia. Tanda Allah meletakkan seseorang hamba-Nya di dalam maqom tajrid ialah Allah memudahkan baginya rezeki yang datang dari arah yang tidak diduganya. Jiwanya tetap tenteram sekalipun terjadi kekurangan pada rezeki atau ketika menerima berbagai ujian.

Sekiranya ahli tajrid sengaja memindahkan dirinya kepada maqom asbab maka ini bermakna dia melepaskan jaminan Allah lalu bersandar kepada makhluk. Ini menunjukkan kejahilannya tentang rahmat dan kekuasaan Allah. Tindakan yang jahil itu bisa jadi menyebabkan berkurang atau hilang terus keberkahan yang Allah karuniakan kepadanya. Misalnya, seorang ahli tajrid yang tidak mempunyai sebarang pekerjaan kecuali membimbing orang ramai ke jalan Allah, walaupun tidak mempunyai sebarang pekerjaan, tetapi rezeki datang kepadanya dari berbagai arah dan tidak pernah putus tanpa dia meminta-minta atau mengharap-harap. Pengajaran yang disampaikan kepada murid-muridnya sangat berkesan sekali. Keberkahannya amat kentara seperti maqbulnya doa, dan ucapannya biasanya menjadi kenyataan. Andainya dia meninggalkan suasana bertajrid lalu berasbab karena tidak puas hati dengan rezeki yang diterimanya maka keberkahannya akan berkurang. Pengajarannya, doanya dan ucapannya tidak mempunyai pengaruh kuat seperti dahulu lagi. Ilham yang datang kepadanya tersekat-sekat dan kefasihan lidahnya tidak selancar biasa.

Seorang hamba haruslah menerima dan ridha dengan kedudukan yang Allah karuniakan kepadanya. Berserahlah kepada Allah dengan yakin bahawa Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah Maha Mengetahui apa yang patut bagi setiap makhluk-Nya. Allah Maha Bijak mengatur urusan hamba-hamba-Nya.

Keinginan kepada pertukaran maqom merupakan tipu daya yang sangat halus. Di dalamnya tersembunyi rangsangan nafsu yang sukar disadari. Nafsu di sini termasuk kehendak, cita-cita dan angan-angan. Orang yang baru terbuka pintu hatinya setelah lama hidup di dalam kelalaian, akan mudah tergerak untuk meninggalkan suasana asbab dan masuk ke dalam suasana tajrid. Orang yang telah lama berada dalam suasana tajrid, apabila kesadaran dirinya kembali sepenuhnya, muncul lagi pada dirinya keinginan, cita-cita dan angan-angan. Nafsu mencoba untuk bangkit seperti semula menguasai dirinya.

Orang asbab perlu menyadari bahwa keinginannya untuk berpindah kepada maqom tajrid itu mungkin secara halus digerakkan oleh ego diri yang tertanam jauh dalam jiwanya. Orang tajrid juga perlu menyadari bahwa keinginannya untuk kembali ke suasana asbab mungkin didorong oleh nafsu rendah yang masih belum berpisah dari hatinya.

Ulama tasawuf mengatakan seseorang mungkin dapat mencapai semua maqom nafsu, tetapi nafsu peringkat pertama tidak kunjung padam. Oleh karena itu, perjuangan atau mujahadah mengawasi nafsu sentiasa berjalan.

Bersambung.....

Sumber :
http://pencaricintaillahi.blogspot.com/2009/01/kajian-kitab-al-hikam-karya-syekh-ibnu.html
Teks asli bisa diakses di sini : http://alhikam0.tripod.com/